Happy Anniversary yang ke 5 bulan.
Longlast ya kita. Ily({})
Pesan singkat darinya membuatku
tersenyum di pagi ini. Hari ini adalah hari jadian pertamaku di putih abu-abu.
Ya, hari ini adalah hari ke empat memakai seragam putih abu-abu. Sudah
meninggalkan putih biru yang banyak meninggalkan kenangan. Sambil memakai
sarapan, aku merenungkan saat indah dengan menggunakan putih biru. Hingga hari
ini aku masih stuck di putih biru, entah sampai kapan. Aku berpamitan kepada
ibu dan berangkat menuju sekolah.
“Hei”.
Lalu aku menoleh ke belakang, Ari
rupanya. “Hei”, sambil tersenyum aku membalas sapaannya. “Mau aku temenin ke
kelas?”, tanyanya. Aku mengangguk sambil tersenyum kembali. Saat menuju kelas,
kami bertemu dengan kakak kelas yang tidak asing lagi dimataku, apalagi
dimatanya. Kak Cessa. Salah satu anak geng terpopuler di sekolah kami. Tanpa
berbicara apa-apa, aku pergi meninggalkan Ari yang dihampiri oleh kak Cessa.
Aku tau hal apa yang terjadi jika aku tetap berdiri disana.
Aku memandangi Ari dan Kak Cessa dari
dalam kelas. Kak Cessa terbawa dalam obrolannya, sedangkan Ari menengok ke kiri
dan kanan, layaknya sedang mencari seseorang. Aku berniat meninggalkan kelas
dan menuju ke lapangan. Saat melewati Ari dan Kak Cessa, aku sengaja tak
memandang ke arah mereka, walaupun aku tahu Ari sempat memandang ke arahku.
Toh, untuk apa aku memandang ke arah mereka. Dan aku tahu apa yang sedang
diperbincangkan olehnya. Sudah seminggu ini Ari dikabarkan mempunyai hubungan
khusus dengan Kak Cessa. Entah benar atau tidak, aku masih mempercayai hatiku,
pasti tidak. Walaupun otakku berbeda pikiran dengan hatiku.
***
Setelah pulang
sekolah, aku tidak langsung pulang ke rumah. Aku mampir dulu disebuah restoran
cepat saji. Setelah memesan makanan, aku terdiam memerhatikan langit diluar
sana yang cerah. Tiba-tiba ponselku bergetar. Aku melihat sebuah nama tertera
disana, Ari. Masih saja dia mengingatku?
Lagi dimana?
Masih saja dia ingin
tahu keberadaanku? Bukankah keberadaanku sudah tergantikan? Entahlah. Aku tak
pernah mengerti jalan pikiran para cowok.
Café.
Aku membalas seadanya.
Aku nyusul ya
Gausah, ini udah mau pulang
Aku berbohong. Padahal aku tak ingin cepat-cepat tiba di
rumah. Rumah mengingatkanku dengan tugas-tugas sekolah yang menumpuk.
Yaudah deh. Hati-hati ya.
Tanpa membalas pesannya, aku bergegas meninggalkan café
tersebut.
Karena terlalu lelah,
setiba di rumah, tanpa mengganti pakaian sekolah, akupun tertidur pulas hingga
ibu membangunkan tidur nyenyakku.
Setelah berganti
pakaian, aku mencari ponsel kesayanganku. 3 message, 5 missed call. Ari. Ada
rasa ingin membalas pesan tersebut, namun aku enggan melakukannya. Aku masih
kesal dengan kejadian tadi pagi bersama Kak Cessa.
***
“Shillaaaaa”. Tanpa melihat ke belakang, aku sudah tahu siapa
yang memanggilku, suaranya yang khas tak pernah bisa ku lupa. Ari.
Aku berhenti dan menoleh ke belakang. Ternyata dia telah
berada tepat dihadapanku.
“Kamu kenapa sih? Gak kayak biasanya”, tanyanya
“Gapapa”, jawabku singkat
“Boong. Kenapa sih? Ada yang salah sama aku?”, tanyanya lagi
“Udah tau boong, masih aja nanya. Pikir sendiri aja ya, kalo
gabisa tanya aja sama Kak Cessa. Aku duluan ya”, jawabku sambil meninggalkannya
sendirian.
Entah
apa yang ada dipikirannya. Hingga hari ini aku masih sangat kesal dengan Kak
Cessa. Sepertinya dia tidak suka denganku. Ah sudahlah, aku tak peduli. Tapi,
aku tak suka dengan sikapnya terhadapku dan tentunya kepada Ari, terlalu
berlebihan. Ya, sikapnya yang berlebihan kepada Ari; memamerkan kemesraan
dihadapanku. Aku sebagai pacarnya, tidak suka dengan hal seperti ini. Bukankah
menyakitkan?
***
“Aku tahu apa yang ada
dipikiranmu. Tapi, aku tak pernah mendekatinya lebih dulu dan aku menghargainya
sebagai kakak kelas, tidak lebih. Dan tidak akan pernah lebih”, katanya yang
mengagetkanku dalam lamunan.
“Apa katamu? Tidak akan pernah
lebih?”, aku sengaja menekankan kata akan. “Kau memang menghargainya sebagai
kakak kelas, tapi kamu sama sekali tidak menghargai hadirku. Ternyata kau lebih
menghargainya dibanding aku. Kau mau-mau saja diajak jalan dengannya, kau pikir
aku tak tahu semuanya? Pacarmu siapa sih? Dia atau aku? Yasudah, kalau kau
lebih memilihnya. Aku pergi”, kataku tanpa menoleh ke arahnya. Aku takut
menatapnya dalam keadaan seperti ini.
“Dia hanya menganggapku sebagai
adik kelas. Percayalah, aku tak mempunyai perasaan yang lebih kepadanya”,
jawabnya sambil menatapku. Sorot matanya tak mampu menyembunyikan penyesalan
dan kejujuran.
“Aku mempercayaimu. Tapi tidak
dengannya. Dia menyukaimu, Ri”, lalu aku menatapnya. “Aku mengerti sorot mata
seorang wanita. Kadang aku memerhatikannya saat menatapmu. Dan aku sangat
menghargai perasaannya. Mungkin, dia akan menggeser posisiku dihatimu.”, kataku
sambil menatapnya lebih dalam lagi.
***
Sudah sebulan setelah aku
mengatakan hal itu kepada Ari. Akhir-akhir ini hubunganku semakin flat.
Seketika hal yang sudah ku prediksikan sebelumnya terlintas di benakku. Ya,
mungkin Kak Cessa telah menggeser posisiku dihati Ari, perlahan tapi pasti.
Sepulang sekolah, aku melihat
Ari dan Kak Cessa berbincang di koridor sekolah. Secepat itukah Ari nyaman
dengan seorang cewek? Mungkin Ari memang membutuhkan seseorang yang lebih
dewasa dibanding diriku yang kekanak-kanakan. Dewasa? Kak Cessa dewasa? Dekat
dengan cowok yang berstatus pacar orang? Bermesraan dengan Ari dihadapanku?
Dimana letak kedewasaannya? Hanya umurnya saja yang dewasa. Aku tak mengerti
jalan pikiran kakak kelasku itu. Terlebih lagi sikap Ari yang tidak bisa
menentukan pilihan. Jika ia nyaman dengan Kak Cessa, kenapa masih tetap
denganku? Apa ia mencari pelarian dan menjadikan pelarian? Lelaki bodoh.
Sejak adanya Kak Cessa, hubunganku
semakin flat dengan Ari. Entah sehebat apa ia mengubah hati Ari. Sehebat apa
iya menggeser posisiku. Sehebat apa ia membuat Ari lebih nyaman. Hanya Ari yang
menentukan dimana akhir cerita iniJ