Terima
kasih untuk perhatian, pengertian, pengorbanan, dan tentunya kepercayaan yang
kau berikan kepadaku. Kau wanita yang
diberikan kepercayaan oleh hatiku untuk menjaganya. Terima kasih untuk 7 bulan terakhir
yang sangat indah. Yang entah sampai kapan aku mengingatnya. Yang suatu saat,
aku dan kamu pasti merindukannya. Jika kelak kau merindukannya, datang
kepadaku, kau bisa berbagi rasa terhadapku, walaupun aku yakin aku merasakan
hal yang sama;’) Hingga kau membaca pesan ini, perasaanku masih tetap sama,
masih menyayangimu sepenuh hatiku:)
Pesan
terakhir darinya membuatku merenung kembali, hingga mataku kembali memerah
seakaan sesuatu yang berada di dalam pelupuk mataku akan tumpah. Seketika
kenangan-kenangan itu terekam kembali di benakku. “Ah, terlalu indah”, gumamku.
Ku lirik ponsel yang berada tidak jauh dariku, sepi. Tidak seperti dulu yang
selalu dihiasi nama seseorang, seorang cowok yang kuhargai dan kusayang setelah
ayahku, Bayu. Aku kangen! Dengan malas-malasan aku mengetik sebuah nama, R-I-O.
Aku ingin menghubunginya walaupun hanya sekedar menanyakan keadaannya. Entah
sampai kapan aku menjadikan ia sebagai pelarian jika aku ada masalah dengan
Bayu. Kami bersahabat sudah sejak duduk di sekolah dasar, hingga sekarang ia
masih setia menjadi sahabatku walaupun ia sering kusebut sebagai pelarian
utamaku.
Dengan menggunakan seragam putih abu-abu, aku berjalan
menyusuri koridor sekolah dengan perasaan yang sulit ku gambarkan. Setelah
menjalani beberapa pelajaran yang lumayan membosankan, akupun keluar kelas
dengan semangat. Bagaimana tidak, aku baru saja lolos dari jebakan maut guru
matematika. Pelajaran yang dipenuhi dengan perhitungan. Dan aku tidak suka
hidup yang penuh perhitungan. Aku lebih suka alam bebas yang membiarkan aku
mengarang apapun yang ku mau, entah bisa berwujud kenyataan atau tidak..
Aku keluar dari gerbang sekolah sambil mengendarai
alphard merah yang diberikan ayahku sebulan lalu. Menyusuri jalan tol yang sepi
pengendara hingga beberapa menit kemudian, aku tiba di depan tempat favoritku,
PIM. Ternyata jam segini ramai dengan anak-anak sekolah. Setelah berkeliling
tanpa tujuan, aku memutuskan untuk mengisi perut yang belum diisi sejak tadi
pagi. Aku duduk di salah satu meja Starbucks. Aku memesan chocolate cookie
crumble frappucino. Dan menantinya sambil mengotak-atik blackberry ditanganku.
“Mocha cookie crumble frappucino satu ya mbak”, seru
seorang pembeli yang sepertinya duduk tepat di belakangku. Sejenak aku
menghentikan kegiatan bersama blackberryku, sepertinya suaranya tidak asing
lagi dibenakku. Dan aku teringat lagi apa yang dipesan orang tersebut. Ya,
minuman favorit aku dan Bayu saat mengunjungi tempat ini. Dengan perasaan
penasaran, aku membalikkan badan dan melihat orang tersebut, dugaanku benar.
Bayu ada tepat di depan mataku.
“Jadi kamu masih sering kesini?”. Sambil menikmati
pesanan, kami mengobrol seadanya. Kami layaknya teman lama yang baru berjumpa
kembali. Ya, t-e-m-a-n. Saat terakhir kami mengunjungi tempat ini bersama-sama,
hatiku masih untuknya dan hatinya masih untukku. Sekarang, kalimat itu hanya
sekedar narasi. Walaupun itu masih menjadi realita dihatiku. Hingga saat ini,
hatiku masih untuknya. Munafik jika aku mengatakan aku tak lagi menyayangi
orang yang berada di depanku. Aku tak tahu, apakah ia juga sependapat denganku?
Hanya dia yang tahu. Dan aku tidak berhak tahu.
“Ya, sesekali jika ada waktu free”, jawabku seadanya
“Oh. Btw, sendirian aja?”, tanyanya kembali
“Hu’um. Mau sama siapa lagi coba?haha”
“Rio?”
“Lagi ada les, dia terlalu sibuk untuk diajak refreshing”
“Kenapa gak ngajak aku aja?”
“Kenapa harus ngajak kamu? Toh kita ketemu juga kan?”,
kalimat tersebut meluncur begitu saja. Cepat-cepat aku mengalihkan pembicaraan.
“Btw, aku duluan ya. Udah sore nih”, tanpa mempedulikan jawaban Bayu, ia
bergegas keluar dari PIM, dan menuju mobilnya.
Aku memandangi langit-langit kamarku, sambil memutar
kembali memori yang baru tersimpan di otakku. Aku tak menyangka bertemu
dengannya lagi setelah hari itu, hari dimana kejadian yang telah kubayangkan
sebelumnya benar-benar terjadi. 7 bulan sudah cukup untuk berbagi dengannya.
Kurasa sudah cukup lamunanku tentangnya untuk hari ini, aku tak ingin terlalu
lama terbuai oleh bayang-bayangnya.
Setelah mandi, aku mencoba memenjamkan mata. Aku terlalu
lelah hari ini. Belum lama aku memejamkan mata, ponselku bergetar. Ada sederet
angka yang sangat ku kenali. Ya, nomor yang tertera di layar ponselku itu,
orang yang pernah ada dalam hatiku yang kini telah pergi dan meninggalkan
banyak kenangan. Entah sampai kapan kenangan itu terus terbayang-bayang.
Hei
Aku
membaca pesan singkat darinya. Entah kenapa, aku tersenyum membacanya
Hai. Tumben sms. Ada apa?
Aku kangen
Bukankah kita telah bertemu tadi?
Iya, tp aku ingin bertemu denganmu kembali
Sebenarnya aku merasakan hal yang sama, bahkan lebih.
Bukannya aku tak ingin bertemu dengannya, hanya saja aku tak ingin
kenangan-kenangan itu memutar kembali di otakku.
Tak lama, aku tertidur dalam lamunanku.
Aku
bersandar di tempat duduk taman kota, lagi-lagi aku mengunjungi tempat
favoritku dengan Bayu. Ah Bayu lagi. Kenapa harus dia lagi? Kenapa? Kenapa? Kapan
aku bisa berhenti memikirkannya? Memikirkan segala tentangnya? Memikirkan semua
kenangan bersamanya? Ah, aku rindu.
Bukankah
itu hanya kenangan? Tapi, apa salahnya aku merindukan kenangan itu? Hanya
sekedar kenangan. Aku rindu kenangannya, bukan orang-orang yang terlibat di
dalamnya.
Di
sela-sela lamunanku, aku melihat sosok yang baru ku temui sehari yang lalu, Bayu.
Orang yang baru saja kenangannya kurindukan, kini telah ada di depanku. Dengan
senyumannya yang takkan pernah kau lupa. Tapi, untuk apa ia datang kemari?
Mengulang kenangan yang amat sangat ku rindukan? Atau membuat kenangan baru?
Entahlah.
“Mungkin
takdir memang mempertemukan kita”, katanya pelan sambil tersenyum
Aku diam
saja memandangi rerumputan
“Kenapa? Tidak suka dengan takdir?
Protes dengan yang membuat hati kamu utuh.
Protes dengan yang membuat hatiku
sepenuhnya hanya milikmu. Ya, hatiku hanya
milikmu,
tapi aku tak tahu apakah hatiku masih layak menempati dirimu atau tidak.”
“Untuk apa kau datang kemari?”, bukannya aku mengalihkan
pembicaraan, tapi aku tidak suka jika berbicara soal hati dengannya.
“Untuk menonton kenangan-kenangan
yang pernah ada. Kenangan-kenangan kita
dulu”
“Masihkah kau menyebut kata kita diantara aku dan kamu?”
“Aku menyebut kita, karena
kenangan-kenangan itu masih milik kita, dan tetap milik
kita. Walaupun kau dan aku
mendeskripsikannya dalam hal yang berbeda”
“Kamu benar. Sampai kapanpun,
kenangan itu menjadi milik kita”
Apapun benuk dan wujudnya. Siapapun
orang yang terlibat di dalamnya. Tetap menjadi sebuah kenangan. Dan aku
menerima kenangan dalam satu paket lengkap dengan hal-hal yang tak kuharapkan hadir,
orang-orang yang tanpa kuminta hadir di dalamnya, hingga hal yang paling ku
takutkan dan kuterima seutuhnya menjadi akhir dari kenangan tersebut.
Terima kasih untuk orang yang telah
hadir menciptakan bermacam-macam warna dan terima kasih untuk sesuatu yang ku
sebut kenangan:)
0 komentar:
Post a Comment