Karena Dia Hadir Diantara Kita (Cerpen)

{ Thursday, September 27, 2012 }

Happy Anniversary yang ke 5 bulan. Longlast ya kita. Ily({})
Pesan singkat darinya membuatku tersenyum di pagi ini. Hari ini adalah hari jadian pertamaku di putih abu-abu. Ya, hari ini adalah hari ke empat memakai seragam putih abu-abu. Sudah meninggalkan putih biru yang banyak meninggalkan kenangan. Sambil memakai sarapan, aku merenungkan saat indah dengan menggunakan putih biru. Hingga hari ini aku masih stuck di putih biru, entah sampai kapan. Aku berpamitan kepada ibu dan berangkat menuju sekolah.
“Hei”.
Lalu aku menoleh ke belakang, Ari rupanya. “Hei”, sambil tersenyum aku membalas sapaannya. “Mau aku temenin ke kelas?”, tanyanya. Aku mengangguk sambil tersenyum kembali. Saat menuju kelas, kami bertemu dengan kakak kelas yang tidak asing lagi dimataku, apalagi dimatanya. Kak Cessa. Salah satu anak geng terpopuler di sekolah kami. Tanpa berbicara apa-apa, aku pergi meninggalkan Ari yang dihampiri oleh kak Cessa. Aku tau hal apa yang terjadi jika aku tetap berdiri disana.
Aku memandangi Ari dan Kak Cessa dari dalam kelas. Kak Cessa terbawa dalam obrolannya, sedangkan Ari menengok ke kiri dan kanan, layaknya sedang mencari seseorang. Aku berniat meninggalkan kelas dan menuju ke lapangan. Saat melewati Ari dan Kak Cessa, aku sengaja tak memandang ke arah mereka, walaupun aku tahu Ari sempat memandang ke arahku. Toh, untuk apa aku memandang ke arah mereka. Dan aku tahu apa yang sedang diperbincangkan olehnya. Sudah seminggu ini Ari dikabarkan mempunyai hubungan khusus dengan Kak Cessa. Entah benar atau tidak, aku masih mempercayai hatiku, pasti tidak. Walaupun otakku berbeda pikiran dengan hatiku.
***
Setelah pulang sekolah, aku tidak langsung pulang ke rumah. Aku mampir dulu disebuah restoran cepat saji. Setelah memesan makanan, aku terdiam memerhatikan langit diluar sana yang cerah. Tiba-tiba ponselku bergetar. Aku melihat sebuah nama tertera disana, Ari. Masih saja dia mengingatku?
Lagi dimana?
Masih saja dia ingin tahu keberadaanku? Bukankah keberadaanku sudah tergantikan? Entahlah. Aku tak pernah mengerti jalan pikiran para cowok.
Café.
Aku membalas seadanya.
Aku nyusul ya
Gausah, ini udah mau pulang
Aku berbohong. Padahal aku tak ingin cepat-cepat tiba di rumah. Rumah mengingatkanku dengan tugas-tugas sekolah yang menumpuk.
                Yaudah deh. Hati-hati ya.
Tanpa membalas pesannya, aku bergegas meninggalkan café tersebut.
                Karena terlalu lelah, setiba di rumah, tanpa mengganti pakaian sekolah, akupun tertidur pulas hingga ibu membangunkan tidur nyenyakku.
                Setelah berganti pakaian, aku mencari ponsel kesayanganku. 3 message, 5 missed call. Ari. Ada rasa ingin membalas pesan tersebut, namun aku enggan melakukannya. Aku masih kesal dengan kejadian tadi pagi bersama Kak Cessa.
***
“Shillaaaaa”. Tanpa melihat ke belakang, aku sudah tahu siapa yang memanggilku, suaranya yang khas tak pernah bisa ku lupa. Ari.
Aku berhenti dan menoleh ke belakang. Ternyata dia telah berada tepat dihadapanku.
“Kamu kenapa sih? Gak kayak biasanya”, tanyanya
“Gapapa”, jawabku singkat
“Boong. Kenapa sih? Ada yang salah sama aku?”, tanyanya lagi
“Udah tau boong, masih aja nanya. Pikir sendiri aja ya, kalo gabisa tanya aja sama Kak Cessa. Aku duluan ya”, jawabku sambil meninggalkannya sendirian.
                Entah apa yang ada dipikirannya. Hingga hari ini aku masih sangat kesal dengan Kak Cessa. Sepertinya dia tidak suka denganku. Ah sudahlah, aku tak peduli. Tapi, aku tak suka dengan sikapnya terhadapku dan tentunya kepada Ari, terlalu berlebihan. Ya, sikapnya yang berlebihan kepada Ari; memamerkan kemesraan dihadapanku. Aku sebagai pacarnya, tidak suka dengan hal seperti ini. Bukankah menyakitkan?
***
                “Aku tahu apa yang ada dipikiranmu. Tapi, aku tak pernah mendekatinya lebih dulu dan aku menghargainya sebagai kakak kelas, tidak lebih. Dan tidak akan pernah lebih”, katanya yang mengagetkanku dalam lamunan.
                “Apa katamu? Tidak akan pernah lebih?”, aku sengaja menekankan kata akan. “Kau memang menghargainya sebagai kakak kelas, tapi kamu sama sekali tidak menghargai hadirku. Ternyata kau lebih menghargainya dibanding aku. Kau mau-mau saja diajak jalan dengannya, kau pikir aku tak tahu semuanya? Pacarmu siapa sih? Dia atau aku? Yasudah, kalau kau lebih memilihnya. Aku pergi”, kataku tanpa menoleh ke arahnya. Aku takut menatapnya dalam keadaan seperti ini.
                “Dia hanya menganggapku sebagai adik kelas. Percayalah, aku tak mempunyai perasaan yang lebih kepadanya”, jawabnya sambil menatapku. Sorot matanya tak mampu menyembunyikan penyesalan dan kejujuran.
                “Aku mempercayaimu. Tapi tidak dengannya. Dia menyukaimu, Ri”, lalu aku menatapnya. “Aku mengerti sorot mata seorang wanita. Kadang aku memerhatikannya saat menatapmu. Dan aku sangat menghargai perasaannya. Mungkin, dia akan menggeser posisiku dihatimu.”, kataku sambil menatapnya lebih dalam lagi.
***
                Sudah sebulan setelah aku mengatakan hal itu kepada Ari. Akhir-akhir ini hubunganku semakin flat. Seketika hal yang sudah ku prediksikan sebelumnya terlintas di benakku. Ya, mungkin Kak Cessa telah menggeser posisiku dihati Ari, perlahan tapi pasti.
                Sepulang sekolah, aku melihat Ari dan Kak Cessa berbincang di koridor sekolah. Secepat itukah Ari nyaman dengan seorang cewek? Mungkin Ari memang membutuhkan seseorang yang lebih dewasa dibanding diriku yang kekanak-kanakan. Dewasa? Kak Cessa dewasa? Dekat dengan cowok yang berstatus pacar orang? Bermesraan dengan Ari dihadapanku? Dimana letak kedewasaannya? Hanya umurnya saja yang dewasa. Aku tak mengerti jalan pikiran kakak kelasku itu. Terlebih lagi sikap Ari yang tidak bisa menentukan pilihan. Jika ia nyaman dengan Kak Cessa, kenapa masih tetap denganku? Apa ia mencari pelarian dan menjadikan pelarian? Lelaki bodoh.
                Sejak adanya Kak Cessa, hubunganku semakin flat dengan Ari. Entah sehebat apa ia mengubah hati Ari. Sehebat apa iya menggeser posisiku. Sehebat apa ia membuat Ari lebih nyaman. Hanya Ari yang menentukan dimana akhir cerita iniJ

Terima Kasih Untuk Sesuatu yang Ku Sebut Kenangan (Cerpen)

{ Saturday, September 22, 2012 }

Terima kasih untuk perhatian, pengertian, pengorbanan, dan tentunya kepercayaan yang kau berikan kepadaku.  Kau wanita yang diberikan kepercayaan oleh hatiku untuk menjaganya. Terima kasih untuk 7 bulan terakhir yang sangat indah. Yang entah sampai kapan aku mengingatnya. Yang suatu saat, aku dan kamu pasti merindukannya. Jika kelak kau merindukannya, datang kepadaku, kau bisa berbagi rasa terhadapku, walaupun aku yakin aku merasakan hal yang sama;’) Hingga kau membaca pesan ini, perasaanku masih tetap sama, masih menyayangimu sepenuh hatiku:)
Pesan terakhir darinya membuatku merenung kembali, hingga mataku kembali memerah seakaan sesuatu yang berada di dalam pelupuk mataku akan tumpah. Seketika kenangan-kenangan itu terekam kembali di benakku. “Ah, terlalu indah”, gumamku. Ku lirik ponsel yang berada tidak jauh dariku, sepi. Tidak seperti dulu yang selalu dihiasi nama seseorang, seorang cowok yang kuhargai dan kusayang setelah ayahku, Bayu. Aku kangen! Dengan malas-malasan aku mengetik sebuah nama, R-I-O. Aku ingin menghubunginya walaupun hanya sekedar menanyakan keadaannya. Entah sampai kapan aku menjadikan ia sebagai pelarian jika aku ada masalah dengan Bayu. Kami bersahabat sudah sejak duduk di sekolah dasar, hingga sekarang ia masih setia menjadi sahabatku walaupun ia sering kusebut sebagai pelarian utamaku.
            Dengan menggunakan seragam putih abu-abu, aku berjalan menyusuri koridor sekolah dengan perasaan yang sulit ku gambarkan. Setelah menjalani beberapa pelajaran yang lumayan membosankan, akupun keluar kelas dengan semangat. Bagaimana tidak, aku baru saja lolos dari jebakan maut guru matematika. Pelajaran yang dipenuhi dengan perhitungan. Dan aku tidak suka hidup yang penuh perhitungan. Aku lebih suka alam bebas yang membiarkan aku mengarang apapun yang ku mau, entah bisa berwujud kenyataan atau tidak..
            Aku keluar dari gerbang sekolah sambil mengendarai alphard merah yang diberikan ayahku sebulan lalu. Menyusuri jalan tol yang sepi pengendara hingga beberapa menit kemudian, aku tiba di depan tempat favoritku, PIM. Ternyata jam segini ramai dengan anak-anak sekolah. Setelah berkeliling tanpa tujuan, aku memutuskan untuk mengisi perut yang belum diisi sejak tadi pagi. Aku duduk di salah satu meja Starbucks. Aku memesan chocolate cookie crumble frappucino. Dan menantinya sambil mengotak-atik blackberry ditanganku.
            “Mocha cookie crumble frappucino satu ya mbak”, seru seorang pembeli yang sepertinya duduk tepat di belakangku. Sejenak aku menghentikan kegiatan bersama blackberryku, sepertinya suaranya tidak asing lagi dibenakku. Dan aku teringat lagi apa yang dipesan orang tersebut. Ya, minuman favorit aku dan Bayu saat mengunjungi tempat ini. Dengan perasaan penasaran, aku membalikkan badan dan melihat orang tersebut, dugaanku benar. Bayu ada tepat di depan mataku.
            “Jadi kamu masih sering kesini?”. Sambil menikmati pesanan, kami mengobrol seadanya. Kami layaknya teman lama yang baru berjumpa kembali. Ya, t-e-m-a-n. Saat terakhir kami mengunjungi tempat ini bersama-sama, hatiku masih untuknya dan hatinya masih untukku. Sekarang, kalimat itu hanya sekedar narasi. Walaupun itu masih menjadi realita dihatiku. Hingga saat ini, hatiku masih untuknya. Munafik jika aku mengatakan aku tak lagi menyayangi orang yang berada di depanku. Aku tak tahu, apakah ia juga sependapat denganku? Hanya dia yang tahu. Dan aku tidak berhak tahu.
            “Ya, sesekali jika ada waktu free”, jawabku seadanya
            “Oh. Btw, sendirian aja?”, tanyanya kembali
            “Hu’um. Mau sama siapa lagi coba?haha”
            “Rio?”
            “Lagi ada les, dia terlalu sibuk untuk diajak refreshing”
            “Kenapa gak ngajak aku aja?”
            “Kenapa harus ngajak kamu? Toh kita ketemu juga kan?”, kalimat tersebut meluncur begitu saja. Cepat-cepat aku mengalihkan pembicaraan. “Btw, aku duluan ya. Udah sore nih”, tanpa mempedulikan jawaban Bayu, ia bergegas keluar dari PIM, dan menuju mobilnya.
            Aku memandangi langit-langit kamarku, sambil memutar kembali memori yang baru tersimpan di otakku. Aku tak menyangka bertemu dengannya lagi setelah hari itu, hari dimana kejadian yang telah kubayangkan sebelumnya benar-benar terjadi. 7 bulan sudah cukup untuk berbagi dengannya. Kurasa sudah cukup lamunanku tentangnya untuk hari ini, aku tak ingin terlalu lama terbuai oleh bayang-bayangnya.
            Setelah mandi, aku mencoba memenjamkan mata. Aku terlalu lelah hari ini. Belum lama aku memejamkan mata, ponselku bergetar. Ada sederet angka yang sangat ku kenali. Ya, nomor yang tertera di layar ponselku itu, orang yang pernah ada dalam hatiku yang kini telah pergi dan meninggalkan banyak kenangan. Entah sampai kapan kenangan itu terus terbayang-bayang.
            Hei
Aku membaca pesan singkat darinya. Entah kenapa, aku tersenyum membacanya
Hai. Tumben sms. Ada apa?
Aku kangen
Bukankah kita telah bertemu tadi?
Iya, tp aku ingin bertemu denganmu kembali
            Sebenarnya aku merasakan hal yang sama, bahkan lebih. Bukannya aku tak ingin bertemu dengannya, hanya saja aku tak ingin kenangan-kenangan itu memutar kembali di otakku.
            Tak lama, aku tertidur dalam lamunanku.

            Aku bersandar di tempat duduk taman kota, lagi-lagi aku mengunjungi tempat favoritku dengan Bayu. Ah Bayu lagi. Kenapa harus dia lagi? Kenapa? Kenapa? Kapan aku bisa berhenti memikirkannya? Memikirkan segala tentangnya? Memikirkan semua kenangan bersamanya? Ah, aku rindu.
            Bukankah itu hanya kenangan? Tapi, apa salahnya aku merindukan kenangan itu? Hanya sekedar kenangan. Aku rindu kenangannya, bukan orang-orang yang terlibat di dalamnya.
            Di sela-sela lamunanku, aku melihat sosok yang baru ku temui sehari yang lalu, Bayu. Orang yang baru saja kenangannya kurindukan, kini telah ada di depanku. Dengan senyumannya yang takkan pernah kau lupa. Tapi, untuk apa ia datang kemari? Mengulang kenangan yang amat sangat ku rindukan? Atau membuat kenangan baru? Entahlah.
            “Mungkin takdir memang mempertemukan kita”, katanya pelan sambil tersenyum
            Aku diam saja memandangi rerumputan
            “Kenapa? Tidak suka dengan takdir? Protes dengan yang membuat hati kamu utuh.
            Protes dengan yang membuat hatiku sepenuhnya hanya milikmu. Ya, hatiku hanya
milikmu, tapi aku tak tahu apakah hatiku masih layak menempati dirimu atau tidak.”
            “Untuk apa kau datang kemari?”, bukannya aku mengalihkan pembicaraan, tapi aku tidak suka jika berbicara soal hati dengannya.
            “Untuk menonton kenangan-kenangan yang pernah ada. Kenangan-kenangan kita
            dulu”
            “Masihkah kau menyebut kata kita diantara aku dan kamu?”
            “Aku menyebut kita, karena kenangan-kenangan itu masih milik kita, dan tetap milik
            kita. Walaupun kau dan aku mendeskripsikannya dalam hal yang berbeda”
           
            “Kamu benar. Sampai kapanpun, kenangan itu menjadi milik kita”

            Apapun benuk dan wujudnya. Siapapun orang yang terlibat di dalamnya. Tetap menjadi sebuah kenangan. Dan aku menerima kenangan dalam satu paket lengkap dengan hal-hal yang tak kuharapkan hadir, orang-orang yang tanpa kuminta hadir di dalamnya, hingga hal yang paling ku takutkan dan kuterima seutuhnya menjadi akhir dari kenangan tersebut.

            Terima kasih untuk orang yang telah hadir menciptakan bermacam-macam warna dan terima kasih untuk sesuatu yang ku sebut kenangan:)